TEMPO Interaktif, LONDON:
Akhir bulan ini, sekelompok ilmuwan internasional dari Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa akan melakukan penggalian pertama kalinya ke mantel bumi. Mata bor akan menerabas kerak bumi dan untuk pertama kalinya menembus lapisan mantel, yang selama ini belum terjamah. Penggalian akan dilakukan menggunakan kapal pengeboran laut dalam Chikyu, yang ditargetkan bisa menembus sampai kedalaman 7.000 meter.
Pengeboran jauh ke dalam kerak bumi bukan perkara mudah. Salah-salah mata bor justru menembus batuan leleh panas atau ladang minyak dan gas. Para ilmuwan internasional yang tergabung dalam proyek ini memang tak mencari sumber minyak apalagi gas bumi, tapi lumpur.
Tapi lumpur yang dicarinya bukan sembarang lumpur, seperti yang menyembur di proyek PT Lapindo Brantas di Porong, Sidoarjo. Mereka mengincar lumpur dan inti batuan dalam, yang diharapkan bisa menyediakan petunjuk kondisi iklim di muka bumi selama ratusan bahkan jutaan tahun.
Batuan dan lumpur dari mantel bumi itu juga akan dianalisis untuk mencari tanda-tanda kehidupan. Seperti kita tahu, beberapa jenis bakteri mikroskopik bisa hidup pada temperatur tinggi yang ditemukan di sekitar sumber air panas. Jika bakteri semacam itu benar-benar ditemukan di kedalaman kerak dan mantel bumi, ada kemungkinan mereka mempunyai enzim yang tahan temperatur panas.
Tentu bukan cuma lumpur yang akan diperoleh dalam Nankai Trough Seismogenic Zone Experiment itu. Pengeboran ke mantel bumi ini diharapkan bisa memantau pergerakan lempeng Filipina dan Eurasia yang berada di bawah kepulauan Jepang.
Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC), yang menjadi pemimpin proyek bernilai ratusan juta dolar itu, menyadari risiko misi tersebut. Sampai saat ini, lubang pengeboran terdalam yang pernah dilakukan barulah mencapai 2,1 kilometer, sepertiga dari target yang harus dilakukan Chikyu.
Diperkirakan Chikyu harus mengebor selama setahun sebelum bisa melubangi mantel bumi. Namun, bila misi berhasil, pengeboran terapung di atas kapal seberat 57.500 ton itu akan mengambil sampel pertama dari kerak bumi. "Ini seperti proyek Apollo, tapi di bawah tanah," kata peneliti Kan Aoike. "Sebuah upaya serius untuk melengkapi eksplorasi kunci bagi umat manusia."
Chikyu, yang berarti bumi dalam bahasa Jepang, akan memulai pengeborannya pada 21 September mendatang di Palung Nankai di Samudra Pasifik. Palung itu adalah lapisan kerak bumi paling tipis dibanding kawasan sekitarnya.
Satu tantangan yang harus diatasi oleh Program Pengeboran Samudra Terpadu itu adalah menembus "Moho", daerah perbatasan yang secara formal dikenal sebagai Mohorovicic discontinuity. Daerah ini menandai pemisahan antara kerak bumi terluar yang rapuh dan mantel bumi yang lebih lunak serta panas.
Kerak bumi membentuk lapisan tipis terluar yang membungkus bumi. Bagian ini terdiri atas batuan padat dengan tebal sekitar 72 kilometer di bawah benua. Namun, di bawah samudra, tebalnya kurang dari 8 kilometer.
Bersama lapisan mantel terluar yang lebih tebal dan solid di bawahnya, kerak bumi ini terpecah jadi lempengan-lempengan besar yang bergerak amat pelan. Gerakannya mungkin mirip rakit hanyut di atas lapisan mantel cair di bawahnya.
Batuan mantel di bagian bawah memang selalu berada dalam kondisi cair karena tekanan dan temperatur tinggi di perut bumi. Pergerakan lempeng ini biasanya amat lambat, sekitar 5 sentimeter per tahun. Meski demikian, pergerakan semacam ini bisa menghasilkan formasi pegunungan, sampai memicu gempa bumi dan erupsi gunung berapi di bagian tepi lempeng.
Nah, pergerakan lempeng inilah yang menarik minat JAMSTEC, lembaga riset kelautan Jepang. Apalagi negara itu berada di salah satu zona gempa paling aktif, yaitu Palung Nankai, sehingga kerap diguncang gempa di atas magnitudo 8.
Presiden JAMSTEC Yasuhiro Kato menyatakan bahwa upaya memprediksi dan memahami fenomena perubahan iklim, yang dipicu bencana alam dan kerusakan lingkungan, telah menjadi isu penting pada abad ini. "Kami menganggap bumi sebagai sebuah sistem unik yang amat dipengaruhi laut," kata Kato.
Untuk mengemban tugas ini, JAMSTEC melengkapi Chikyu dengan berbagai teknologi paling modern. Alat bor yang dibawanya menggunakan teknologi yang biasa dipakai industri minyak. Bor ini dilindungi oleh pipa kedua yang diisi dengan lumpur sebagai pelumas. Pipa ini memiliki besar yang pas dengan diameter pipa bor dan berfungsi mengeluarkan serpihan batu dan tanah dari lubang.
Sebuah katup pelepas tekanan berfungsi mencegah semburan yang terjadi jika bor mengenai deposit minyak atau gas bertekanan tinggi. Jika semburan terjadi, kapal bisa tenggelam, bahkan ledakan dan kebakaran hebat.
Yang paling penting, kapal itu juga dilengkapi sistem dynamic positioning, mekanisme penentu lokasi yang dipandu satelit. Sistem ini bisa mengoreksi posisi kapal terhadap angin, gelombang, dan arus dengan enam mesin pendorong yang menjaga kapal tetap pada tempatnya. Pergeseran kapal sedikit saja akibat gelombang atau arus bisa membuat pipa bor menjadi bengkok.
Dalam proyek selama 10 tahun itu, JAMSTEC didampingi oleh tim ilmuwan Amerika Serikat dan Eropa. Selain riset tentang pergerakan lempeng tektonik, ada sejumlah tugas lain yang harus dikerjakan para ilmuwan tersebut, termasuk upaya menemukan kehidupan baru dan potensi menyelamatkan umat manusia.
Setelah Chikyu sukses membuat lubang pengeboran sampai ke mantel bumi, sejumlah sensor diletakkan ke dalamnya untuk memantau pergerakan lempeng. Tujuannya jelas untuk memprediksi kapan dan di mana gempa akan mengguncang dan mengevakuasi penduduk dari daerah bencana. Metode tercanggih yang ada sekarang ini hanya bisa memberikan peringatan akan adanya gempa beberapa menit sebelum bencana itu terjadi.
Asahiko Taira, direktur jenderal proyek itu, berharap misi ini bisa membantu ilmuwan meramalkan gempa bumi. "Buat Jepang, hal terpenting adalah mengebor dan menembus daerah tempat tumpang tindih antarlempeng sehingga kami bisa memonitor gempa secara langsung," katanya.
Taira menyatakan lantai samudra di pantai barat Sumatera, yang memicu gempa dan tsunami pada Desember 2004, bisa menjadi lokasi pengeboran berikutnya pada masa depan.
0 komentar:
Posting Komentar